KONFLIK SOSIAL ANTARA PRIBUMI DAN NON PRIBUMI (CHINA)
DI PEKALONGAN JAWA TENGAH 1995
Makalah ini
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah
Ilmu
Sosial Dasar
Disusun
Oleh :
NAMA : MEI PAITA SARI
NPM : 14315115
KELAS : 1TA03
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA DEPOK
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “KONFLIK SOSIAL ANTARA PRIBUMI
DAN NON PRIBUMI (CHINA ) DI PEKALONGAN JAWA TENGAH 1995.”
Makalah
ini berisikan tentang informasi tentang konflik sosial antara pribumi dan non
pribumi (china ) di pekalongan jawa tengah tahun 1995. Diharapkan Makalah ini
dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang pentingnya menjaga
perdamaian,menyelesaikan masalah secara hukum tentang penyimpangan sosial yang
dilakukan warga non pribumi (china) pada tahun 1995.
Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Depok,20 Desember 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………ii
Daftar Isi…………………………………………………………………….iii
BAB I :
Pendahuluan
1.1
Latar belakang……………………………………………………………1
1.2
Rumusan masalah ………………………………………………………2
1.3 Tujuan makalah
………………………………………………………….2
BAB II :
Pembahasan
2.1 Definisi
prasangka,diskriminatif,eknosentrisme…………………………..3
2.2
Latar belakang terjadinya konflik
sosial di kota pekalongan………………5
2.3
Terjadinya konflik sosial antara warga
pribumi dan non pribumi (china)
di kota pekalongan…………………………………………………………5
2.4
Bagaimana penanganan kerusuhan antara warga pribumi dengan warga
etnis cina…………………………………………………………………..7
BAB III :
Kesimpulan dan penutup
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………10
3.2
Penutup……………………………………………………………10
Daftar Pustaka / Sumber
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia adalah suatu Negara yang banyak mempunyai beraneka
ragam suku,etnis,ras dan agama. Banyak sekali kekayaan alam yang tersebar di
Sabang sampai Merauke. Tidak hanya kaya akan alam tetapi Indonesia juga kaya
akan budayanya berupa suku, etnis, ras, dan berbagai agama (SERA) yang berbeda
– beda dan setiap daerah mempunyai budaya masing-masing. Suku-suku di daerah
pedalaman Indonesia masih kental akan warisan nenek moyang mereka, yang dijaga
dan dilestarikan secara turun temurun dari jaman dulu sampai saat ini. Semua
keragaman yang ada di Indonesia tercipta dari kehidupan sehari-hari yang
dijalani oleh masyarakat, sehingga muncul berbagai variasi baru dalam bentuk
budaya, baik hasil dari penciptaaan budaya baru maupun dari kebiasaan
masyarakat. Ada nilai positif dan negatif dari keanekaragaman yang ada di
Indonesia. Sisi positifnya adalah Indonesia akan penuh dengan keragaman budaya,
karena tidak semua Negara mempunyai keanekarageman seperti yang ada di
Indonesia.Sisi negatifnya adalah rawan terjadi konflik di kalangan masyarakat.
Hal ini perlu perhatian serius dari semua kalangan karena jika tidak dipandang
secara serius, akan terjadi konflik yang berujung pada tindak kekerasan sampai
pembunuhan. Jika terjadi konflik di kalangan masyarakat secara terus menerus,
tentunya akan menurunkan citra Indonesia di mata internasional serta mengancam
ketahanan nasional.Bukan hanya ketahanan yang akan terancam tetapi persatuan
dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia juga akan terpecah sehingga
mengakibatkan banyak Negara yang akan memanfaatkan keadaan tersebut. Konflik
yang terjadi di Papua harus segera di selesaikan dan dipastikan tidak ada
perbedaan yang akan menimbulkan suatu konflik. Oleh karena itu, pemahaman
tentang “Bhinneka Tunggal Ika” masih harus di tanamkan kepada setiap
warganegara Indonesia agar tidak terjadi perpecahan. Dan ini menjadi tanggung
jawab kita semua sebagai wargaIndonesia bukan hanya pemerintah saja.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah
diatas dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut :
1) Apa definisi
prasangka,diskriminasi,eknosentrisme?
2) Bagaimana latar belakang terjadinya
konflik sosial di kota pekalongan?
3)Apa terjadinya konflik sosial antara
warga pribumi dan non pribumi (etnis
china ) di kota pekalongan ?
4) Bagaimana penanganan kerusuhan antara warga pribumi dengan warga
etnis cina ?
1.3 TUJUAN MAKALAH
Adapun
tujuan penulis menyusun makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi prasangka diskriminasi serta
ekosentrisme
2. Mengetahui latar belakang terjadinya
konflik sosial di kota pekalongan
3. Mengetahui terjadinya konflik sosial
antara warga pribumi dan warga non pribumi (etnis china ) di kota pekalongan
4. Mengetahui bagaimana penanganan
kerusuhan antara warga pribumi dengan warga etnis china
BAB
11
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
prasangka,diskriminatif,eknosentrisme
a. Definisi
prasangka
Prasangka adalah sikap (biasanya
negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada
keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron & Byrne, 1991). Misalnya karena
pelaku pemboman di Bali adalah orang Islam yang berjanggut lebat, maka seluruh
orang Islam, terutama yang berjanggut lebat, dicurigai memiliki itikad buruk
untuk menteror. Sementara itu, Daft (1999) memberikan definisi prasangka lebih
spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki
perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki
kekurangan kemampuan fisik. Soekanto (1993) dalam ‘Kamus Sosiologi’ menyebutkan
pula adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap diskriminatif terselubung
terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu. Prasangka ini ada pada kelas
masyarakat tertentu dan dialamatkan pada kelas masyarakat lain yang ada didalam
masyarakat. Sudah jamak kelas atas berprasangka terhadap kelas bawah, dan
sebaliknya kelas bawah berprasangka terhadap kelas atas. Sebagai contoh, jika
kelas atas mau bergaul dengan kelas bawah maka biasanya kelas atas oleh kelas
bawah dicurigai akan memanfaatkan mereka. Bila kelas bawah bergaul dengan kelas
atas dikira oleh kelas atas akan mencuri dan sebagainya.Sebagai sebuah sikap,
prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni perasaan (feeling),
kecenderungan untuk melakukan tindakan (Behavioral tendention), dan adanya
suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs). Perasaan
yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka
bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai
prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan
verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Sedangkan
pengetahuan mengenai objek prasangka biasanya berupa informasi-informasi, yang
seringkali tidak berdasar, mengenai latar belakang objek yang diprasangkai.
Misalnya bila latar belakang kelompoknya adalah etnik A, maka seseorang yang
berprasangka terhadapnya mesti memiliki pengetahuan yang diyakini benar
mengenai etnik A, terlepas pengetahuan itu benar atau tidak.Prasangka merupakan
salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antar individu yang
baik (Myers, 1999). Bisa dibayangkan bagaimana hubungan interpersonal yang
terjadi jika satu sama lain saling memiliki prasangka, tentu yang terjadi
adalah ketegangan terus menerus. Padahal sebuah hubungan antar pribadi yang
baik hanya bisa dibangun dengan adanya kepercayaan, dan dengan adanya.
b.
Definisi diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan
yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi
merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia,
Ini disebabkan karena kecenderungan
manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara
tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan
kepercayaan, aliranpolitik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga
merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Diskriminasi
langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan
menghambat adanya peluang yang sama.
2. Diskriminasi
tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan
di lapangan
c.
Definisi ekosentrisme
Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang
menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagaai sesuatu
yang prima, terbaik, mutlak dan diepergunakan sebagai tolok ukur untuk menilai
dan membedakannya dengan kebudayaan lain.Etnosentrisme merupakan kecenderungan
tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolok
ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku
berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.Setiap suku bangsa atau ras tertentu
memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda dan sekaligus menjadi kebanggaan
mereka. Suku bangsa ras tersebut cendrung menganggap kebudayaan mereka sebagai salah satu prima, riil, logis,
sesuai dengan kodrat alam dan sebagainya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan
yang mereka miliki, dipandang sebagai, dipandang sebagai suatu yang kurang baik, kurang
estetis, dan bertentang dengan kodratnya.
2.2
Latar belakang terjadinya konflik sosial di kota pekalongan
Kerusuhan pada tanggal 24 November 1995 dipicu oleh
adanya penyobekan kitab suci Al Qur’an yang dilakukan oleh seorang warga etnis
Tionghoa.Menurut laporan dari Berita Acara Pemeriksaan Saksi yang dilakukan
oleh pihak Kepolisian Pekalongan,
penyobekan kitab suci tersebut dilakukan
pada tanggal 22 November 1995, sekitar pukul 05.15.
2.3
Terjadinya konflik sosial antara warga pribumi dan non pribumi (etnis china ) di kota pekalongan
Hari Rabu, tanggal 22 November 1995,
pukul 05.15 WIB, terjadi penyobekan Al Qur’an di toko Sinar Matahari jalan
Hayam Wuruk No. 230, Pekalongan. Pelaku seorang warga etnis Tionghoa, bernama
(JST), umur 42 tahun yang menderita sakit jiwa. Kejadian tersebut disaksikan
oleh sekitar lima orang warga pribumi.
Kejadian di pagi hari tersebut
mengundang kemarahan masyarakat Pekalongan. Massa berusaha untuk membawa pelaku
dan minta pertanggungjawaban keluarga pelaku. Akan tetapi keluarga pelaku
menolak, dan memberi informasi kepada masyarakat kalau pelaku seorang yang
sakit jiwa. Rabu, tanggal 22 November 1995
pukul 21.00 WIB, masyarakat Pekalongan melampiaskan kemarahannya dengan cara
melempari rumah-rumah milik etnis Tionghoa. Pada peristiwa tersebut, pura dan
gereja juga menjadi sasaran amuk massa. Esoknya, masyarakat kembali melakukan
tindak pengrusakan, yang menjadi sasaran adalah SMA Masehi. Hari Jumat, 24
November 1995, massa kembali berarak menuju rumah pelaku dan sebuah rumah milik
keluarga pelaku dijebol oleh massa. Petugas dibantu ormas Islam berhasil
mengendalikan situasi.
Detail Peristiwa
Hari Rabu tanggal 22 November 1995,
sekitar pukl 19.00 WIB, massa mulai turun ke jalan. Aparat keamanan yang telah
bersiap sejak muncul peristiwa penyobekan Al Qur’an, dengan cara memblokade
jalan Hayam Wuruk tidak berhasil menahan gerak warga masyarakat. Massa berjalan
sambil melempari toko-toko milik warga etnis Tionghoa. Gema takbir mengiringi
laju para demostran. Lokasi yang menjadi sasaran amuk massa adalah sepanjang
Jalan Hayam Wuruk, Jalan Cipto Mangunkusumo, Jalan Sudirman, Jalan Wahidin,
Jalan KH Mansyur, Jalan Merdeka, dan Jalan Sultan Agung. Beberapa kendaraan
yang diparkir di jalan-jalan itu juga hancur, diamuk massa.
Peristiwa yang berawal di dalam kota
tersebut, kemudian juga menjalar ke luar. Pabrik tekstil Lokatek yang terletak
di Pekalongan Barat, tidak luput dari aksi amuk massa. Pabrik dirusak, dan
sebuah bis perusahaan dibakar. Pabrik tekstil lainnya yang dijadikan sasaran
adalah pabrik tekstil Kismatik, namun kerugian yang diderita tidak separah di
Lokatek. Di daerah Pekalongan Timur, aparat keamanan menemukan bom Molotov
beserta hulu ledak. Peristiwa di Pekalongan itu berlangsung sekitar empat jam.
Peristiwa tersebut bersifat spontan dan berada di luar kendali.
2.4
Bagaimana penanganan kerusuhan antara
warga pribumi dengan warga etnis cina ?
Tanggal 22 November 1995 aparat kepolisian
datang ke tempat kejadian, beberapa saat setelah mendapat laporan. Aparat
kepolisian yang hanya beberapa orang tersebut, akhirnya meminta bantuan
tambahan personil, setelah massa mulai beringas. Bantuan personil dari pihak
kepolisian cukup membantu menangani masalah, setidaknya arus lalu lintas yang
mulai macet dan kacau bisa dikendalikan, juga massa yang berjubel mulai
dikendalikan. Kepolisian juga memanggil para saksi mata, juga keluarga si
pelaku. Pelaku sendiri kemudian dikirim ke rumah sakit.Sekwilda, pada hari yang
sama, yakni Rabu 22 November 1995, mengadakan pertemuan dengan Kepala Kandep.
Agama setempat untuk membahas masalah yang terjadi di Jalan Hayam Wuruk dan
mencari jalan keluar. Hasil yang diperoleh dalam pertemuan tersebut adalah ormas
Islam dan para alim ulama perlu diajak
bermusyawarah agar kasus tersebut tidak berkembang
menjadi lebih parah.
Langkah koordinasi ditempuh oleh pihak
kepolisian dengan mengundang para ulama, ormas Islam, dan instansi terkait
untuk menangani masalah tersebut. Hasil yang didapat dari pembicaraan beberapa
unit tersebut antara lain adalah bahwa pelaku pengrusakan diproses secara
hukum; aktif melakukan penjagaan demi
keamanan wilayah; dan membuat naskah kutbah Jumat untuk dibacakan pada tanggal 24 November
1995. Aparat keamanan, melakukan tindakan pencegahan agar kejadian itu tidak
meluas sampai keluar daerah Pekalongan.
Penjagaan cukup ketat dilakukan di jalan yang menuju arah Weleri dan Tegal.
Dalam menangani masalah kerusuhan tersebut Muspida dibantu oleh ormas-ormas
Islam, para ulama, dan tokoh masyarakat. Kasus amuk massa yang melanda daerah
Pekalongan pada bulan November 1995 berpangkal pada kondisi ekonomi, agama, dan
kultur yang ada di masyarakat. Kerusuhan tanggal 22-24 November 1995 dipicu oleh
pelecehan agama. Di Pekalongan masalah yang ada hubungannya dengan agama itu
sifatnya sangat sensitif, mudah tersulut apabila terjadi sedikit penyimpangan.
Berkaitan dengan masalah agama islam, di daerah pekalongan berkembang sebuah aliran yang sifatnya sangat eksklusif.
Aliran tersebut tidak mau menjadi
makmum, apabila yang menjadi imam orang yang berasal dari luar kelompoknya.
Aliran tersebut pernah dilarang, namun pada tahun 1995 aliran tersebut muncul lagi. Kondisi ekonomi juga berpengaruh
terhadap perilaku kerusuhan yang terjadi
di Pekalongan. Di Pekalongan, banyak aktivitas bisnis yang dipegang oleh kaum pribumi.
Kondisi kewirausahaan warga pribumi
sebagai pemegang kendali ekonomi di wilayah yang terkenal dengan julukan “kota santri” tersebut mulai
goyah sekitar tahun 1970an.
Para pengusaha batik di Pekalongan dari
masa kolonial dikenal sebagai pengusaha
yang ulet, kreatif, dan inovatif. Kondisi seperti itu pada awal tahun 1980 an eksistensinya mulai diambil para
pengusaha Cina (Tionghoa), sehingga
keberadaan para pengusaha pribumi mulai surut. Awal tahun 1980an di wilayah
tersebut terjadi pergeseran “pemegang kendali ekonomi” dari pribumi ke non
pribumi (Cina atau Tionghoa) yang notabene beragama Nasran
BAB 111
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa pergolakan-pergolakan
seperti di Pekalongan timbul sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang
sedang terjadi dalam skala nasional. Pergolakan daerah dapat diartikan sebagai
reaksi terhadap perubahan yang sedang terjadi. Mengingat sifatnya yang lokal,
maka pergolakan-pergolakan ini sering disebut sebagai suatu “revolusi sosial”.
Peristiwa yang terjadi di Karesidenan
Pekalongan itu ternyata bukanlah sekedar suatu bentuk kerusuhan yang
semata-mata kriminal sifatnya, tetapi lebih dari itu, ia merupakan suatu jenis
pemberontakan terhadap situasi. Bergolaknya massa adalah mencerminkan respon
terhadap situasi lingkungan yang tengah berubah. Proklamasi dipandang sebagai
lambang kebebasan dari segala ikatan. Ikatan politik kolonial, ikatan
sosial-ekonomi, dan kultur yang selama masa penjajahan membelenggunya dianggap
harus lepas semuanya.
Kerusuhan di Pekalongan yang masih membekas
terjadi pada tahun 1995. Ditahun-tahun tersebut, banyak terjadi insiden-insiden
kecil yang kemudian berubah menjadi kerusuhan massa ataupun amuk massa. Di sini
terlihat masyarakat yang saling curiga dan pelaku kebanyakan ada di usia labil
yang cenderung menyelesaikan masalah dengan jalan kekerasan. Kerusuhan di
Pekalongan ini sebagai bukti bahwa primordialistik masih kental saat itu.
Apalagi ditunjang dengan faktor ekonomi dimana saat itu muncul kekuatan ekonomi
Cina dan juga sensitifitas terhadap agama yang kerap memunculkan konflik. Satu
hal yang unik terlihat bahwa pada saat itu agama baik tokoh ulama ataupun
politik agamanya menjadi panutan dalam masyarakat. Ucapan para kiai akan
senantiasa didengar dan dilakukan oleh masyarakat karena memang masyarakat
Pekalongan terkenal dengan kereligusannya.
3.3Saran
Jika dilihat permasalahan di Karesidenan
Pekalongan pada tahun 1995 maka diperlukan konsep dialog. Diharapkan dalam
dialog itu, dihadirkan seluruh komponen masyarakat duduk dalam satu meja untuk
membicarakan berbagai persoalan yang muncul. Dengan duduk dalam satu meja itu
mereka akan memahami posisi masing-masing dan pada akhirnya seluruh komponen
masyarakat itu tidak saling curiga mencurigai.
Ketika kesepakatan terbentuk maka sebaiknya
masyarakatpun mematuhi kesepakatan itu dengan segala konsekuensinya. Dan
masyarakat harus dibina sifat nasionalisnya agar tahu bahwa kita tinggal di
satu wilayah yang sama yaitu Indonesia maka harus ada sifat saling toleransi
dan menghargai. Perbedaan bukan sesuatu yang harus selalu ditentang dengan
kekerasan. Sebaliknya perbedaan itu harus kita terima kelebihan dan
kekurangannya dan sekali lagi toleransi sangat dibutuhkan dikonteks ini.
Untuk aspek politik, diperlukan dialog juga
dan diharapkan partai politik dan kadernya tidak menggunakan cara-cara kotor
dalam berkampanye. Politik haruslah dibangun dengan jujur, adil, dan beradab.
Dengan demikian nilai-nilai perpolitikan antara lain kearifan, kebersamaan, dan
komitmen pada konstitusi dan demokrasi bisa terlaksana tanpa kekerasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurdiyanto, dkk. 2004. Kerusuhan di Pekalongan Jawa Tengah 1995 dan 1999. Yogyakarta. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
Basri,agus.1995.kerusuhan dipekalongan.Gatra,Edisi 2-8.
Berita acara pemeriksaan saksi,polri wilayah pekalongan
22 November 1995