Rabu, 16 Januari 2019

“Pengaruh Penggunaan Seismic Base Isolation System Terhadap Respon Struktur Gedung Hotel Ibis Padang (Universitas Gunadarma Review)’’

Assalamualaikum guys, selamat siang alhamdulillah akhirnya kali ini gue bisa ngeblog lagi setelah sekian lama hanya posting tugas formal kampus doang, kali ini gue akan me review jurnal yang membahas tentang “Pengaruh Penggunaan Seismic Base Isolation System Terhadap Respon Struktur Gedung Hotel Ibis Padang” . Awalnya dilatar belakangi  karena indonesia merupakan daerah yang rawan dengan bencana gempa bumi, gunung berapi ataupun tsunami. Dari berbagai kejadian gempa yang ada, mayoritas penyebab tingginya jumlah korban jiwa ketika terjadinya gempa bumi adalah akibat keruntuhan bangunan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko keruntuhan bangunan, salah satunya adalah dengan menggunakan base isolator. Gedung Hotel Ibis Padang ini menggunakan base isolator pada struktur bangunannya, berfungsi untuk memperpanjang waktu getar alami struktur sampai 2,5 atau 3 kali dari waktu getar struktur tanpa base isolator (struktur konvensional) dan memiliki redaman sampai 30%. Akibatnya gaya gempa yang disalurkan ke struktur menjadi lebih kecil. Base isolator memperbesar perioda struktur sampai tiga kali lipat, sehingga dapat memperkecil simpangan antar laintai dengan kata lain base isolator dapat mereduksi gaya gempa yang terjadi.
Perbandingan antara bangunan konvensional dengan bangunan yang menggunakan base isolator
 



Rubber Bearing Seismic Base Isolator pada Gedung Hotel Ibis Padang merupakan jenis Elastomeric Bearings yang bahan utamanya terbuat dari bahan sintetik atau karet. Penggunaan lead rubber bearing pada struktur bangunan gedung Hotel Ibis Padang memberikan deformasi lateral tiap lantai yang lebih besar dibandingkan pada struktur dengan fix base. Penggunaan lead rubber bearing sebagai seismic isolation system pada gedung beton bertulang, akan menurunkan gaya-gaya dalam pada struktur sehingga seolah-olah struktur gedung tersebut terletak di daerah dengan zona gempa yang lebih kecil. Berdasarkan perhitungan diperoleh reduksi gaya dalam struktur sekitar 60 hingga 80 %. Penggunaan base isolator dengan type HH090-X6R dapat HH085-X6R dipertimbangkan untuk digunakan pada bangunan Hotel Ibis Padang




Terima kasih guys atas kunjungannya diblog ini, semoga bermanfaat dan menjadikan pengetahuan bagi kita semua.. See you next time


Mei Panita Sari
14315115
4TA01
Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
I Kadek Bagus Widana Putra
Universitas Gunadarma



Hyperlink to :











Selasa, 08 Januari 2019

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
SAP 10-13
Disusun oleh:
Kelompok 4
4TA01

1.         Akmal Amrullah                                                         (10315435)
2.         Lia Lilyana Ariani                                                       (13315817)
3.         Lita Mutia Sari                                                            (13315852)
4.         Maajid Jati Laksamana                                               (13315974)
5.         Mei Panita Sari                                                            (14315115)
6.         Muhammad Fiqri Firdaus Soleh                                 (14315603)
7.         Retno Regita Pramesti                                                            (15315790)
8.         Rischa Andriani Permata Putri                                   (16315051)


Program Studi Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Gunadarma
2019


MATERI 10
ASPEK PERSEROAN, PERBANKAN, PERANSURASIAN DAN PERPAJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI

10.1               Pengertian Perseroan
              Perseroan adalah badan hukum yang berdiri berdasarkan perjanjian dan modalnya terbagi dalam saham peraturan perlaksanaannya ditetapkan dalam Undang-undang. Organ perseroan terbagi menjadi : Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang tugasnya memegang kekuasaan, Direksi yang tugasnya bertanggung jawab penuh atas kepengurusan dan Komisaris yang tugasnya melakukan pengawasan dan memberi nasehat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan berdasarkan pasal 7 ayat 1 sampai dengan ayat 7 Undang-undang No.1 tahun 1995.
Pengertian (pasal 1 ayat 1) : Perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan dan peraturan pelaksananya. Prosedur Pendirian perseroan terbatas adalah sebagai berikut:
1.                       Perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia
2.                       Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham atas perseroan yang didirikan
3.                       Setelah perseroan disahkan pemegang saham menjadi berkurang 2 orang, maka dalam waktu paling lama 6 bulan sejak keadaan tersebut pemegang saham wajib mengalihkan sebagian sahamnya ke orang lain
4.                       Setelah jangka waktu yang dimaksud dalam ayat 3, pemegang saham tetap kurang dari 2 orang maka pemegang saham bertanggung jawab atas segala resiko atau kerugian dan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut
5.                       Ketentuan yang mewajibkan perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih diatur dalam ayat 1, ayat 3 dan ayat 4 tidak berlaku bagi perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara
6.                       Perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian sebagaimana diatur dalam ayat 1 disahkan oleh menteri
7.                       Dalam pembuatan Akta Pnedirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa
8.                       Status Badan Hukum Perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum & HAM RI (dh. Menteri Kehakiman) dan pengesahan diberikan paling lama 60 hari setelah permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan. Setelah akta tersebut disahkan, wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan diumumkan dalam Berita Negara RI. 

10.2       Status Badan Hukum
              Perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum & HAM RI (dh. Menteri Kehakiman) dan pengesahan diberikan paling lama 60 hari setelah permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan. Setelah akta tersebut disahkan, wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan diumumkan dalam Berita Negara RI.

10.3       Pemegang Saham
              Pemegang saham perseroan harus lebih dari 1 (satu) orang, karena pada dasarnya sebagai badan hukum perseroan dibentuk berdasarkan perjanjian. Apabila perseroan kemudian hanya dimiliki oleh seorang, dalam waktu 6 (enam) bulan pemegang saham harus menjual sahamnya, apabila tidak maka tanggungjawab menjadi pribadi dan atas permohonan pihak yang berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan.

10.4     Perlindungan terhadap Pemegang Saham Minoritas
            Satu orang pemegang saham atau lebih mewakili 1/10 dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat meminta kepada Direksi atau Komisaris untuk menyelenggarakan RUPS. Pemegang saham atas nama sendiri atau atas nama perseroan yang mewakili 1/10 dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk dilakukan pemeriksaan terhadap perseroan.
Setiap pemegang saham dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan kepada Pengadilan Negeri apabila merasa dirugikan.




10.5       Organ Perseroan
              Organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. Untuk menjadi Direksi dan Komisaris diharuskan memenuhi persyaratan tertentu yang pada intinya harus mempunyai akhlak dan moral yang baik dilihat dari pengembangan suatu usaha. Di dalam UUPT diatur secara tegas tata cara pemanggilan RUPS, sahnya RUPS dan quorum, sehingga apabila dalam penyelenggaraan RUPS hal-hal tersebut tidak dipenuhi, RUPS menjadi tidak sah. Perbedaan Tugas masing-masing organ perseroan : RUPS merupakan organ perseroan yang mempunyai kekuasaan paling tinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris. Direksi bertugas melakukan pengurusan perseroan demi kepentingan dan tercapainya tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi, memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan.

10.6               Mencermati aspek-aspek dalam Kontrak Konstruksi
              Dalam suatu kontrak konstruksi atau dokumen kontrak terkandung aspek-aspek teknis, hukum, administrasi, keuangan/perbankan, perpajakan, sosial ekonomi, dimana seluruh aspek tersebut harus dicermati karena saling mempengaruh dan ikut menentukan baik buruknya pelaksanaan kontrak. Aspek-aspek ini kurang diperhatikan, sehingga sering menimbulkan perselisihan pendapat atau sengketa terkait aspek tersebut (Nazarhan Yasin: 82-121). Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut :
1.                       Aspek teknis
              Aspek teknis merupakan aspek yang paling dominan di dalam kontrak konstruksi. Apabila aspek ini berhasil dilaksanakan, maka proyek itu dinggap berhasil/sukses. Aspek teknis dalam kontrak harus tetap diperhatikan dan dikelola dengan baik agar seluruh isi kontrak dapat dijakankan dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Aspek teknis dalam dokumen kontrak pada umumnya adalah meliputi : syarat-syarat umum kontrak, syarat-syarat khusus kontrak, sepesifikasi teknis, dan gambar-gambar kontrak.
Beberapa aspek teknis dalam dokumen kontrak meliputi:
a.                       Lingkup pekerjaan. Uraian pekerjaan harus dibuat sejelas mungkin serta didukung dengan gambar-gambar dan spesifikasi teknis. Namun adakalanya ada yang terlewat, misalnya: batas pekerjaan tersebut dengan pekerjaan yang berdampingan yang dikerjakan oleh penyedia jasa lain.
b.                       Waktu pelaksanaan. Harus disebut dengan jelas, sejak kapan pelaksanaan dihitung. Apabila tidak dijelaskan sejak kapan dihitung waktu pelaksanaannya, apakah sejak penandatangana kontrak, sejak tanggal terbitnya SPK, atau saat lain, maka akan menimbulkan sengketa dikemudian hari yang antara lain adalah sengketa dalam hal menghitung keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini yang tepat dan baik adalah menetapkan bahwa tanggal dimulainya pekerjaan adalah tanggal terakhir dari tanggal penandatanganan kontrak/tanggal kontrak/tanggal terbitnya SPK, atau saat lain yang ditentukan. Intinya adalah harus ditentukan dengan tegas kapan tanggal di mulainya pekerjaan mulai dihitung.
2.                       Aspek Hukum.
              Beberapa aspek hukum yang sering menimbulkan dampak hukum yang cukup luas, antara lain:
a.                       Penghentian sementara pekerjaan. Pasal mengenai hal ini padahal kemungkinan terjadi-nya cukup besar, yang apabila terjadi maka para pihak akan dihadapkan pada suatu ketidakpasatian hukum mengenai waktu pelaksanaan pekerjaan yang terganggu dan mengenai ganti ruginya, berapa lama penghentian pekerjaan diperbolehkan dan apa dampak hukumnya apabila jangka waktu terlampaui bagi pihak yang menghentikan. Untuk itu penghentian sementara ini harus diatur tegas dalam kontrak, dimana diatur tata caranya, alasan-alasannya serta akibat hukumnya karena penghentian sementara pekerjaan bukan berarti pengakhiran perjanjian.
b.                       Pengakhiran perjanjian/pemutusan kontrak.Pengakhiran disini adalah pengakhiran atau pemutusan atau pembatalan kontrak yang dilakukan oleh salah satu pihak karena alasan-alasan yang tercantum dalam kontrak. Dalam hal ini harus diatur dan dicantumkan hak-hak para pihak untuk memutuskan kontrak termasuk konsekuensinya, hak dan kewajiban para pihak dan tata cara pemberitahuan pembatalan kontrak.
c.                       Ganti rugi keterlambatan. Pencantuman pasal mengenai ganti rugi akibat keterlambatan menjadi penting karena keterlambatan itu menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan berhak menerima ganti rugi. Sehingga harus diatur bagaimana penghi-ungan hari keterlambatan, penentuan kapan mulai pekerjaan dan penentuan kapan keterlambatan mulai dihitung dan apakah penyedia jasa tetap dapat diijinkan bekerja walaupun telah mengalami keterlambatan. Pengaturan yang demikian adalah untuk menghindari perselisihan karena perbedaan penafsiran.
d.                      Penyelesaian perselisihan. Pasal mengenai hal ini sebaiknya diatur sebaik mungkin untuk menghindari kemungkinan timbulnya perselisihan atau sengketa mengenai kontrak. Biasanya dalam kontrak disebutkan bahwa apabila timbul perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah. Apabila tidak tercapai maka akan diselesaikan melalui arbitrase atau melalui pengadilan (salah satu). Namun yang demikian seringkali penyelesaiannya berlarut-larut karena tidak ditentukan berapa lama jangka waktu musyawarah atau kapan saat penyelesaian sengketa karena kegagalan musyawarah dapat dilimpah-kan ke arbitrase atau ke pengadilan.
e.                       Keadaan memaksa yaitu keadaan yang terjadi diluar kehendak atau kemampuan para pihak, misalnya banjir, gunung meletus, tanah longsor yang terjadi karena kehendak Tuhan, kebijakan moneter pemerintah, pemberontakan, huru-hara, wabah penyakit yang terjadi di luar kehendak para pihak. Mengenai hal ini harus diatur dengan tegas dan jelas, seperti tata cara pemberitahuannya, penanggulanganya akibat kerusakan, penanggulangan asuransinya terutama tentang persyaratan penanggungannya.
f.                        Hukum yang berlaku. Hukum disini adalah hukum yang berlaku bagi kontrak, yang harus dicantumkan untuk mengantisipasi apabila timbul perselisihan. Tanpa mencantumkan klausula hukum yang berlaku bagi kontrak maka akan sulit menyelesaikan sengketa karena tidak diketahui hukum apa/negara mana yang dipakai. Walaupun para pihaknya adalah warga negara yang sama atau warga negara Indonesia. Akan tetapi dalam PP No. 29 Tahun 2000 ditentukan bahwa Kontra Kerja Konstruksi harus tunduk pada hukum Indonesia.
g.                       Bahasa kontrak sesuai dengan ketentuan UU No.18 tahun 1999, kontrak kerja konstruksi dapat dibuat dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tapi tetap harus ditentukan versi mana yang berlaku, jika terjadi perbedaan penafsiran karena secara hukum keduanya berlaku. Pencatuman ketentuan yang demikian adalah untuk menghindari sengketa. Dan sebaiknya ditentukan bahwa bahasa Indonesia yang berlaku.
h.                       Domisili. Kesepakatan mengenai domisili dalam suatu kontrak dicantumkan dengan maksud apabila timbul perselisihan, pemutusan kontrak akan dilakukan melalui pengadilan. Dalam hal disepakati dalam kontrak pilihan penyelesaian sengketa adalah arbitrase, maka pencantuman keduanya secara bersamaan merupakan suatu kekeliruan yang akan menimbulkan sengketa yang sulit diselesaikan, karena satu pihak akan atau ingin menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, sementara pihak lain keberatan dan ingin menyelesaikan sengketanya melalui Pengadilan.
i.                         Pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata. Apabila menghendaki pemutusan kontrak tanpa melalui pengadilan, maka dalam kontrak kerja konstruksi harus dinyatakan mengesam-pingkan belakunya Pasal 1266 KUH Perdata karena ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menentukan bahwa suatu kontrak atau perjanjian hanya dapat diputus atau dibatalkan sering lupa dicantumkan dalam kontrakmelalui putusan pengadilan.
3.                       Aspek Keuangan/Perbankan.
              Aspek keuangan yang terpenting dicantumkan dengan jelas adalah nilai kontrak/harga borongan, cara pembayaran dan jaminan-jaminan. Jaminan yang wajib disediakan oleh penyedia jasa adalah : jaminan uang muka, jaminan pelaksanaan dan jaminan perawatan atas cacat. Sedangkan jaminan yang diberikan oleh pengguna jasa adalah jaminan pembayaran yang biasanya diberikan dalam bentuk bank garansi hanya saja bank garansi terkena ketentuan kewajiban pemenuhan modal minimum, maka saat ini yang berkembang jaminan dalam bentuk surety bond yang diberikan oleh perusahaan asuransi.
4.                       Aspek Perpajakan
              Dalam suatu kontrak kontrusi terkandung aspek perpajakan, terutama yang berkaitan dengan nilai kontrak sebagai pendapatan penyedia jasa. Jasa. Jenis pajak yang terkai dengan jasa kontruksi adalah:
a.       Pajak Pertambahan nilai (PPN)
b.      Pajak Penghasilan (PPh)
              Dasar hukum yang mengenai Pajak Pertambahan nilai (PPN) atas jasa kontruksi diatur pada pasal 4 (c) UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan UU No.18 Tahun 2000. Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan jasa kontruksi siatur pada pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.17 Tahun 2000.

5.                       Aspek Perasuransian
a.              Jenis asuransi dalam kontrak konstruksi. Dalam hal ini jenis asuransi yang digunakan ada-lah yang dapat mencakup semua proyek termasuk jaminan kepada pihak ketiga yang dikenal dengan all risk & third party liability. Harus diatur secara tegas dalam kontrak yang didalamnya dapat meyakinkan bahwa proyek tersebut dijamin asuransi. Dalam hal ini manfaat diberikan untuk pengguna jasa sedangkan preminya dibayarkan oleh penyedia jasa.
b.             Perpanjangan masa asuransi. Mungkin saja terjadi keterlambatan penyelesaian proyek, maka harus ditentukan bagaimana perpajangan asuran-sinya karena berarti pertanggungan asuransinya terlampaui.
c.              Jenis asuransi lain. Harus diatur dalam kontrak bagaimana dengan Asuransi tenaga kerja (Astek) maupun asuransi kesehatan (Askes).
6.                       Aspek sosial ekonomi
a.              Keharusan menggunakan tenaga kerja dan bahan tertentu. Aspek ini menyangkut penggunaan tenaga kerja, bahan-bahan bangunan/material serta peralatan yang diperoleh di dalam negeri. Aspek initerkait sekali dengan aspek sosial ekonomi.
b.             Tenaga kerja setempat. Pengaturan ini berkaitan dengan ketentuan keharusan menggunakan tenaga kerja setempat adalah agar dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi orang disekitar daerah proyek sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
c.              Tenaga kerja keahlian khusus. Perlu diatur mengenai tenaga kerja dengan keahlian khusus, karena adakalanya bagian pekerjaan tertentu memerlukan keahlian khusus, misal pekerjaan seni pahat.
d.             Material dalam negeri. Tujuan pengaturan penggunaan material dalam negeri adalah dalam rangka melindungi produksi dalam negeri sebagai-mana diuraikan penjelasan angka 6 UU No. 18 Tahun 1999.
e.              Dampak lingkungan. Aspek ini disyaratkan dalam UU No. 18 Tahun 1999 Pasal 22 ayat (2) butir (m) dan Pasal 23 ayat (1) butir (m) yang didalamnya harus memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuang tentang lingkungan


7.                       Aspek administrasi
a.              Keterangan para pihak. Keterangan para pihak harus tercantum secara jelas di dalam kontrak. Jika pihak tersebut adalah perusahaan, maka identitas perusahaan harus jelas termasuk siapa yang berwenang mewakili dan bertindak atas nama perusahaan. Keharusan pencantuman keterangan para pihak adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UU No. 1999 dan Pasal 23 ayat (1) PP No. 29 Tahun 2000.
b.             Laporan kemajuan pekerjaan. Laporan kemajuan pekerjaan perlu diatur dalam tata cara beserta format yang baku dan periode laporan yang biasanya dirinci menjadi laporan harian, mingguan dan bulanan. Pengaturan laporan kemajuan diperlukan untuk memantau kemajuan pekerjaan dibandingkan dengan rencana atau jadwal pelaksanaan.
c.              Korespondensi. Korespondensi diperlukan untuk tertib administrasi mengenai informasi para pihak agar semua dapat didokumentasikan. Perlu diatur mengenai wakil para pihak, alamat serta bentuk korespondensi yang disepakati, agar informasi yang diberikan dapat diakui keabsahannya.
d.             Hubungan kerja atar para pihak. Yang dimaksud adalah hubungan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa, yaitu menentukan dan mengatur orang atau badan yang mewakili pengguna jasa dilapangan, demikian juga sebaliknya.












MATERI 11
ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN

Description: Image result for aspek agraria

11.1           Definisi Agraria
               Menurut Etimologi Agraria berasal dari Bahasa latin “Ager” yang berarti lapangan atau pedusunan. Agraria merupakan salah satu konsep yang penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namu demikian, konsep ini masih diliputi oleh berbagai ketidaksepahaman di antara para ahlinya. Ketidaksepahaman tersebut sedikit banyak menyumbang pula kepada terhambatnya implementasi konsep tersebut, khususnya di Indonesia.

11.2    Konsepsi Agraria
Setidaknya ada lima kelompok yang membedakan tentang hukum agraria di Indonesia. Ada hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan ataas tanah dalam arti bumi. Ada hak air yaitu aturan hukum yang mengatur hak-hak atas air. Ada hukum pertambangan atau hukum yang mengatur hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam air. Ada hukum perikanan yaitu hukum yang hak atas kekuasaan alam dalam air. Dan hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. Serta hukum kehutanan adalah atuan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan.
Konsepsi hukum agraria bersifat religius disamping hak bangsa Indonesia baik hak milik yang mempunyai kedudukan paling tinggi yang meliputi seluruh tanah yang ada di Indonesia dan bersifat abadi juga hak menguasai negara. Seperti termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 dan pasal 2 ayat 2 UUPA mengatakan bahwa negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukan pengguna, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, bumi, air dan ruang angkasa.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Jadi, kesimpulan dari hukum agraria adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai agraria (pertanahan).

11.3    Struktur Agraria dalam Pembangunan
Struktur keagrariaan terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan atau garapan untuk memiliki tanah. Konsep Reforma Agraria pada hakekatnya merupakan konsep land reform, yang merupakan penataan kembali struktur penguasaan/ kepemilikan tanah yang lebih adil, termasuk pencegahan konsentrasi kepemilikan tanah. Land reform diartikan sebagai perombakan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang   bersangkutan   dengan   penguasaan   tanah,   untuk   melaksanakan   landreform, pemerintah harus merealisasikan ketentuan-ketentuan Pasal 7, Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal 17 yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Salah satu program yang digalakkan oleh pemerintah dalam rangka program land reform adalah redistribusi tanah.
Dalam Rencana Pembanguanan Jangka menengah (RPJM) dan Rencana Pembanguanan  Jangka  Panjang  (RPJPN)  2005-2025,  disebutkan  lima  misi  pokok  di bidang pertanahan, yaitu;
a.   Menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif;
b.   Melaksanakan  penegakan  hukum  terhadap  hak  atas  tanah  dengan  menerapkan prinsip-prinsip keadilan; transparansi, dan demokrasi;
c.   Penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform, agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah;
d.   Penyempurnaan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat;
e.   Peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan.




MATERI 12
ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN

Description: Image result for ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN

12.1               PENDAHULUAN
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang, sedangkan penataan ruang yaitu suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan, berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan antara lain pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Penataan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administraftif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang disusun berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan atau kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan bublok peruntukan. Penyususnan rencana rinci dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi.
Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan  ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan melalu perizinan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi administrative, sanksi pidana penjara, atau sanksi pidana denda.

12.2               KONSEP DASAR PENATAAN RUANG
Konsep penataan ruang wilayah adalah pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada beebrapa aspek seperti keamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara luas bagi semua lapisan masyarakat. Penyusuanan rencana tata ruang wilayah nasional harus mem-perhatikan hal-hal berikut:
1.             Wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional
2.             Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional
3.        Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi

Aspek lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional adalah:
1.             Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
2.             Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 
3.             Rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
4.             Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan 
5.             Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk: 
1.             Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
2.             Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; 
3.             Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; 
4.             Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; 
5.             Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; 
6.             Penataan ruang kawasan strategis nasional; dan 
7.             Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
1.              Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; 
2.              Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan 
3.              Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

12.3                ASPEK HUKUM TATA RUANG
Sistem tata ruang dari aspek hukum sudah menjadi suatu sistem cukup kompleks dan untuk alasan ini tentu tidak bisa digambarkan sepenuhnya dalam buku ini. Suatu sistem tata ruang menentukan penggunaan tanah yang disebutkan pada sebuah rencana tata ruang. Biasanya sistem tata ruang dibentuk dari ketetapan zona. Penetapan zona ini harus mempertimbangkan semua komponen dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu: pembangunan ekonomi, kelayakan kehidupan sosial, kelestarian lingkungan dan pelembagaan dari semua kerangka peraturan. Penentuan zona penggunaan tanah seharusnya mengatur tentang apa yang:
1.             Dilarang;
2.             Boleh dilaksanakan setelah izin diterima dari pihak berwenang yang terkait;
3.             Boleh dilaksanakan tetapi harus tunduk pada syaratsyarat yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang untuk memberi izin; dan/atau
4.             Boleh dilakukan tanpa izin.
Sistem hukum mempunyai beberapa peranan dalam sistem penataan ruang. Sistem hukum bisa menetapkan tujuan di mana tata ruang boleh dipersiapkan dan tujuannya dipenuhi dalam penataan ruang. Hukum bisa menentukan lingkup pada suatu rencana serta prosedur perumusannya, pelaksanaannya dan amandemennya. Bagian tentang aspek hukum ini akan mengulas sistem penataan ruang di Indonesia yang ditetapkan secara nasional.


12.4                KERANGKA PERATURAN TENTANG TATA RUANG
Para anggota DPRD seharusnya mengetahui sistem tata ruang dari tingkat nasional ke tingkat provinsi dan tingkat kota. Hingga 28 saat ini pengaturan masih bersifat ‘top down’ sesuai dengan UndangUndang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU24/92). Apa implikasinya untuk pemerintah kota? Implikasinya tidak terlalu keras karena sistem tata ruang di tingkat kota cukup memberi ruang untuk ‘strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang’ di kota. Masih ada kesempatan untuk memberi makna keberlanjutan atas ketentuan yang dibuat dari tingkat daerah dan tingkat nasional.
Para anggota DPRD harus menyadari bahwa pendekatan yang dimuat dalam UU 24/92 di luar langkah otonomi daerah.’Ia juga belum sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip pembangunan kota berkelanjutan. Pada tahun 1997, laporan yang berjudul Institutional Framework Reforms for Land Administration oleh Bappenas dan BPN, menyatakan bahwa langkah pertama dalam desentralisasi adalah penataan ruang pada tingkat kecamatan. Informasi pada tingkat kecamatan harus dipadukan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Selanjutnya, ia juga harus dibandingkan dengan pedoman umum pemerintah pusat dan pedoman khusus dari pemerintah kota.
Mengikuti kerangka regulasi tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang diperbarui, terlihat adanya kebutuhan untuk mendefinisikan ulang tentang hubungan antara provinsi dan kota/kabupaten. Hal ini berkaitan juga dengan rencana penataan tata ruang agar menjadi lebih jelas. Pembaruan kerangka regulasi ini mengarah pada perlunya perubahan tentang rangkaian pengelolaan tata ruang guna yang lebih akomodatif terhadap pendekatan “bottom up” atau prinsip otonomi daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom menyatakan bahwa penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata ruang kabupaten/kota dan provinsi (pasal 2(3)13). Sebelum ada perubahan dalam sistem ‘top down’, perlu ada revisi dalam ’perda’ provinsi. Sebab, biasanya perda provinsi mempunyai pendekatan ‘top down’. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi diharuskan menjadi dasar penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

12.4.1         Undang-Undang No. 24 tahun 1992
Undang-Undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang menentukan suatu kerangka untuk sistem tata ruang seluruh 29 Indonesia. Ia berisi definisi, ketetapan peran serta masyarakat dan juga menetapkan tiga konsep yang terkait dengan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Dalam pasal 1(10), kawasan perkotaan diartikan sebagai ‘kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi’.
Dalam UU tersebut dikatakan bahwa penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan untuk mencapai tata ruang kawasan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang (pasal 10(2)(a)) antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat. Pengaturan pemanfaatan ruang diarahkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial (pasal 10(2)(c)).
Ketetapan tersebut adalah pernyataan prinsip yang harus dilaksanakan pemerintah kota dalam upaya membangun kota berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, UU ini akan sesuai dengan prinsip-prinsip kota berkelanjutan jika seluruh indikatornya diikuti secara konsisten. Karena belum diatur dalam kerangka regulasi tingkat nasional, DPRD dapat mengambil peran strategis untuk menjabarkan kerangka regulasi ini dalam perda yang dirumuskannya bersama pemerintah kota.

12.5           PENYEMPURNAAN KONSEP TATA RUANG
Adapun yang perlu diperhatikan dalam upaya penyempurnaan konsep Tata Ruang pada dasarnya, dokumen rencana tata ruang yang telah disepakati dan disahkan oleh DPRD menjadi perda sepenuhnya akan menjadi satu kebijakan publik. Maka, perda ini harus diterima, disepakati dan diterapkan oleh semua pelaku tata pemerintahan, termasuk masyarakat. Semua pelaku yang tidak mentaati rencana ini dapat diberikan sanksi.
Penyempurnaan terhadap rencana tata ruang juga perlu memperhatikan kenyataan bahwa berbagai persoalan yang selama ini ada dalam proses penerapan rencana tata ruang relatif tidak mudah diatasi dan bahkan tidak bisa diterapkan. DPRD dan semua pelaku juga perlu mempertimbangkan untuk mengefektifkan atau memberdayakan dokumen rencana tata ruang. Dalam upaya 64 penyempurnaan rencana tata ruang, DPRD bersama para pelaku lain perlu mengembangkan opsi-opsi konsep yang mungkin berguna untuk menggantikan konsep yang lama atau menciptakan konsep yang baru sama sekali.
Pemikiran kedepan mengenai konsepsi tata ruang pada dasarnya berdasarkan atas beberapa pertimbangan:
1.                       Bahwa tanah pada hakekatnya dapat dipergunakan untuk berbagai jenis kegiatan apapun yang dapat memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya untuk semua warga;
2.                       Rencana tata ruang harus merefleksikan kebutuhan pengamanan lingkungan dan perbaikannya, yang sementara ini tidak nyata baik dalam konsep maupun operasionalnya;
3.                       Peruntukkan tanah untuk dimensi waktu yang relatif panjang (10-20 tahun) cenderung membatasi dinamika kegiatan dan perkembangan perkotaan, dalam pengertian bahwa ada kontradiksi antara kehidupan yang dinamis diakomodasi dalam instrumen yang sangat statis;
4.                       Keberadaan rencana tata ruang sering menyebabkan nilai tanah menjadi tak bernilai.
















MATERI 13
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI


13.1               Definisi Abritase
Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.” Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada. Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa .

13.2               Sengketa Kontruksi
Sengketa jasa kontruksi terdiri dari :
a.            Sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar.
b.           Sengketa  yang  terjadi  pada  saat  berlangsungnya  pekerjaan  pelaksanaan  konstruksi.
c.            Sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 tahun. 

13.3       Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi
Penyelesaian sengketa  jasa  konstruksi yang  tidak  dapat  diselesaikan melalui  musyawarah  dan mufakat,  diarahkan  pada  penyelesaian  di  luar  pengadilan  dan  bermuara  pada  penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian.
Adapun dalam Penyelesaian sengketa contractual, dapat melalui jalur-jalur sebagai berikut:
1.                       Jalur Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara satu pihak tertentu, yang disebut  dengan “klien”  dengan pihak  lain  yaitu    konsultan.  Pihak  konsultan  ini  memberikan pendapat  kepada  klien  untuk  memenuhi  kebutuhan  klien  tersebut.  Dalam  jasa  konstruksi, konsultan  berperan  penting  dalam  penyelesaian  masalah-masalah  teknis  lapangan,  apalagi apabila  konsultan  tersebut  merupakan  konsultan  perencana  dan  atau  konsultan  pengawas proyek. Pendapat mereka sangat dominan untuk menentukan kelancaran proyek.
2.                       Negoisasi
Negosisi  merupakan  salah  satu  lembaga  alternatif  penyelesaian  sengketa  yang dilaksanakan  di  luar  pengadilan,  sedangkan  perdamaian  dapat  dilakukan  sebelum  proses sidang pengadilan  atau sesudah proses  sidang berlangsung,  baik di luar maupun di dalam sidang  pengadilan.  Dari  literatur  hukum  dapat  diketahui,  selain  sebagai  lembaga penyelesaian sengketa, juga bersifat informal meskipun adakalanya juga bersifat formal.
3.                       Jalur Mediasi
Dari beberapa pengertian yang ada, maka pengertian mediasi adalah pihak ketiga (baik perorangan atau lembaga independen), tidak memihak dan bersifat netral, yang bertugas memediasi kepentingan dan diangkat serta disetujui para pihak yang bersengketa. Sebagai pihak luar, mediator tidak memiliki kewenangan memaksa, tetapi bertemu dan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan pokok perkara. Berdasarkan masukan tersebut, mediator dapat menentukan kekurangan atau kelebihan suatu perkara, kemudian disusun dalam proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak secara langsung. Peran mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga para pihak yang besengketa dapat berkompromi dan menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan di antara para pihak yang bersengketa. Mediasi juga merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa.
4.                       Jalur Perdamaian
Jalur perdamaian  merupakan atau  langkah awal  sebelum  sidang  pengadilan  dilaksanakan, dan  ketentuan  perdamaian  yang diatur  dalam Kitab Undang-undang  Hukum Perdata,  juga merupakan  bentuk  alternatif  penyelesaian  sengketa  di  luar  pengadilan,  dengan mengecualikan  untuk  hal-hal  atau  sengketa  yang  telah  memperoleh  suatu  putusan  hakim  yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

5.                       Jalur Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Arbitrase  adalah  bentuk  kelembagaan,  tidak  hanya  bertugas  untuk    menyelesaikan perbedaan  atau perselisihan  atau sengketa yang terjadi antara para pihak  dalam perjanjian pokok,  akan  tetapi  juga  dapat  memberikan  konsultasi  dalam  bentuk  opini  atau  pendapat hukum atas permintaan  para pihak  dalam perjanjian. Pendapat hukum lembaga  arbitrase bersifat mengikat, dan setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian. 
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi banyak mengadopsi beberapa jalur tersebut di atas. Dalam penyelesaian  sengketa  jasa  konstruksi  pada  saat  berlangsungnya  pelaksanaan  proyek  dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 
1.                       Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai penyerahan pekerjaan I) Penyelesaian  sengketa  dengan  Site  Meeting  (Rapat-rapat  Lapangan)  yang  dilaksanalan  2 (dua)  minggu  sekali.  Rapat  ini  dihadiri  oleh  pengguna  jasa,  penyedia  jasa,  dan  wakil pemerintah  bidang konstruksi  (untuk proyek pemerintah  - instansi  teknis).  Kesepakatan yang  dihasilkan  dalam  site  meeting  ini  dibuatkan  Berita  Acara  Rapat  Lapangan  yang ditandatangani  pihak-pihak  yang  terlibat/hadir,  mengikat  semua pihak,  serta  masuk  dalam dokumen pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan.
2.                       Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai dan setelah penyerahan ke II) Pada tahap ini dibagi 2 (dua) yaitu : (1) Tahap pekerjaan konstruksi sampai dengan penyerahan ke II pekerjaan pelaksanaan, dan (2) Tahap operasional yaitu tahap bangunan dimanfaatkan hingga jangka waktu 10  tahun.
3.                       Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan
Pengadilan yang dimaksud adalah upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan, manakala upaya yang ada belum juga menghasilkan kesepakatan. Perlu diingat bahwa upaya pengadilan ini meupakan upaya akhir (baca : pengadilan negeri tempat domisili para  pihak berselisih, termasuk lokasi proyek yang bersangkutan – yang biasanya sudah dicantumkan dalam kontrak kerja).





DAFTAR PUSTAKA

Erdinal agung, 2014. Aspek Manajemen Proyek Konstruksi. http://8aspekmanajemenproyekkonstruksi.blogspot.com/2014/11/. (diakses tanggal 03 Januari 2019)
Juita sridewi, 2012. Aspek Hukum dalam perseroan. http://belajarhukumbisnis.blogspot.com/2012/06/aspek-hukum-dalam-perseroan-terbatas.html. (diakses tanggal 04 januari 2019)
Sri redjeki, 2016. Kesempurnaan kontrak kerja konstruksi menghindari sengketa. https://media.neliti.com/media/publications/147404-ID-kesempurnaan-kontrak-kerja-konstruksi-me.pdf. (diakses tanggal 04 Januari 2019 )
Harsono, Budi. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, 2008.
Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum Masyarakat Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1995.
Indonesian Institute for Infrastructure Studies,2012. Aspek Penataan Ruang dan Perjanjian dalam Proyek Pembangunan .http://www.penataanruang.com  (diakses tanggal 04 Januari 2019 )
Guritno Soerjodibroto, 2014. htt Aspek Penataan Ruang dan Perjanjian dalam Proyek Konstruksi. ps://www.academia.edu/4515377/Tata_Ruang. (diakses tanggal 04 Januari 2019 )
            Dewi, Sita. 2015. Makalah Cara Penyelesaian Sengketa. https://www.academia.edu/9976222/MAKALAH_CARA_PENYELESAIAN_SENGKETA_HPI
(diakses tanggal 06 Januari 2019)
            Afif Mukhamad, Bambang Agus. 2018. Masalah Sengketa Dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. https://www.researchgate.net/publication/322301973_MASALAH_SENGKETA_DALAM_PENYELENGGARAAN_JASA_KONSTRUKSI (diakses tanggal 06 Januari 2019)