Sudah tidak asing lagi
bagi kita mendengar permasalahan negara Indonesia dengan negara tetangganya
yaitu Timor Leste. Seperti yang pernah kita dengar, pada saat detik-detik gentingnya
negara kita mengalami masa-masa yang menyulitkan. Persiden kita bapak Habibi
mengundurkan diri tepat setelah mengesahkan pelepasan daerah Timor Leste
menjadi negara merdeka dengan sendirinya.
Permasalahan yang
sering terjadi antara Negara Republik Indonesia dengan Timor Leste tidak lain
adalah sengketa tanah atau wilayah kedaulatan, hingga sampai saat ini yang
terjadi.
Pemerintah Indonesia
dan Timor Leste saling klaim lokasi sengketa di Desa Nelu, Kecamatan Naibenu,
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan
wilayah perbatasan kedua negara sebagai milik mereka.
Permasalahan ini
terjadi karna, tanah yang disengketakan oleh warga Desa Nelu, Kecamatan
Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan warga Leolbatan, Distrik Oekusi,
Timor Leste, masuk wilayah Indonesia.
Menurut kepala badan
pengelola perbatasan, warga Leolbatan merusak pilar yang menjadi pembatas
antara wilayah Indonesia dan Timor Leste. Padahal, batas antara kedua negara
telah disepakati tahun 2009 lalu.
Pembangunan jalan yang
dilakukan pemerintah Timor Leste juga telah memasuki wilayah Indonesia. Sebab,
lokasi jalan tersebut terletak di Dusun Sunsea, Desa Nelu, yang secara
geografis merupakan bagian dari wilayah Indonesia. ”Aksi warga Desa Nelu yang
memblokir jalan yang dibangun pemerintah Timor Leste, karena ingin menjaga
kedaulatan wilayah Indonesia,” kata Eduard sebagai kepala badan pengelola
perbatasan provinsi nusa tenggara timur Senin, 21 Oktober 2013.
Penetapan batas negara,
kata Eduard, juga didasarkan pada perundingan antara Portugis dan Belanda, yang
membagi wilayah jajahannya tahun 1404-1406. Itu sebabnya, pemerintah pusat
diminta menugaskan aparatnya, khususnya dari Kementerian Luar negeri, untuk
melakukan sosialisasi berkaitan dengan batas antara kedua negara. ”Sosilisasi
masalah batas negara, memang menjadi tugas dan wewenang pemerintah pusat,” ujar
Eduard.
Konsul Timor Leste
Feliciano da Costa mengatakan, sesuai kesepakatan antara kedua negara tahun
2009, wilayah yang disengketakan tersebut masuk wilayah Timor Leste, termasuk
kuburan tua di Desa Nelu.
Feliciano justru
menuduh warga Nelu yang merusak pilar batas wilayah kedua negara. Karena itu,
dia meminta aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku perusakan.
"Siapa yang merusak pilar itu akan berurusan dengan hukum," ucapnya.
Feliciano juga menilai
pemerintah Indonesia kurang memberikan sosialisasi kepada masyarakat di
perbatasan, sehingga masyarakat tidak tahu batas wilayah antara kedua negara.
"Kata kuncinya kurang sosialisasi dari pemerintah Indonesia,"
tuturnya.
Warga desa di kedua
negara, pertengahan Oktober 2013 lalu, terlibat bentrokan selama tiga hari.
Bentrokan dipicu sengketa tanah tersebut. Kedua kelompok warga yang masih
merupakan kerabat tersebut terlibat saling serang. Warga Desa Nelu merasa harus
mempertahankan tanahnya, karena pembangunan jalan yang dilakukan pemerintah
Timor Leste telah melewati batas wilayah, bahkan masuk ke wilayah Indonesia
sejauh 500 meter. Bahkan, jalan tersebut menerabas tanah kuburan warga Nelu.
Sebaliknya, warga
Leolbatan, Distrik Oekusi, Timor Leste, yang merasa tanah itu miliknya,
mempertahankannya.
Sumber : www.tempo.co/topik/masalah/1139/sengketa-perbatasan-indonesia-timor-leste